Sukses

MK Larang Eks Koruptor Nyaleg hingga 5 Tahun Usai Keluar Penjara

Mahkamah Konstitusi (MK) melarang mantan koruptor nyaleg alias mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif hingga lima tahun setelah keluar dari penjara.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) hingga lima tahun setelah keluar dari penjara. Larangan eks koruptor nyaleg ini tertuang dalam putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.

Dalam hal ini MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Leonardo Siahaan, warga Tambun Utara, Bekasi.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan pada Rabu (30/11/2022) di Jakarta.

Adapun putusan ini dimusyawaratkan oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai anggota.

Dalam putusannya, MK menyebut Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan masa menunggu jangka waktu lima tahun bagi narapidana kasus korupsi sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

"Ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan pula masa menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara yang berdasar pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota," bunyi putusan MK.

Menurut MK, jangka waktu tersebut dirasa cukup bagi para mantan terpidana kasus korupsi untuk instrospeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya.

 

2 dari 3 halaman

Penjelasan Lain

MK menjelaskan, terkait frasa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan merupakan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.

"Oleh karena itu, pembedaan syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota bagi mantan terpidana tersebut dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara," kata MK.

Senada dengan hal ini, perbedaan secara faktual dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu sepanjang frasa 'kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana' sejatinya tidak lagi selaras dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.

 

3 dari 3 halaman

Jadi Pertimbangan

“Oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” bunyi putusan.

Persyaratan atas adanya keharusan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya tersebut, menurut MK hal itu diperlukan hanya dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.

“Hal ini terpulang pula kepada rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak untuk memberikan suaranya kepada calon tersebut. Sementara itu untuk pengisian jabatan melalui pemilihan, pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya,” demikian bunyi putusan MK.